skip to main |
skip to sidebar
Diketahui masyarakat ekonomi menengah banyak mengkomsumsi glutamat
eksogen berupa garam monosodium glutamat (lebih dikenal dengan vetsin)
sebagai penyedap makanan. Sebagian dari mereka sering mengeluh sakit
kepala (sefalgia) yang dikenal dengan “CHINESE RESTAURANT SYNDROME".
Mekanisme depolarisasi membran neuronal (saraf) dibawah pengaruh
glutamat sehingga terjadi permeabilitas terhadap ion Na, ion Ca dan air,
sehingga terjadi masuknya ion Ca ke sel (peningkatan ion Ca
intraseluler), merupakan fase awal dan fase lanjut kematian sel. (The
early and late phases of glutamate – like Neurotoxity).
Mekanisme dipolarisasi ini juga meningkatkan aktifasi mekanisme
homeostatik “ATP dependent“ yang menyebabkan energi cadangan neuron
berkurang sehingga tidak dapat mempertahankan keseimbangan ion
intraseluler dan ektraseluler, sehingga dapat menyebabkan awal kematian
sel.
Glutamat banyak terdapat pada protein makanan nabati dan
dalam bentuk garam monosodium glutamat digunakan sebagai penyedap
makanan (enhancing flavour). Konsentrasi glutamat pada jaringan otak
sebesar 10 mm, sebagian besar di “Synaptic Vesicles “.
Glutamat
endogen ataupun berasal dari eksogen dalam konsentrasi besar merupakan
neurotoxin untuk sistim saraf pusat dan ini telah dibuktikan secara
histologi oleh Headley and Grillner 1990.
Heathfield 1990,
melaporkan pada penderita “Sporadic Motor Neuron Diseases“ ditemukan
toleransi abnormal glutamat dan didapatkan peningkatan konsentrasi
plasma glutamat dengan gejala:
* Kelumpuhan kedua lengan dan atau kedua tungkai
* Gangguan berjalan / sempoyongan
* Gangguan miksi / urine
* Kelainan cairan sumsum tulang belakang ( liquor )
* Reflek fisiologis meningkat
* Pemeriksaan neurofisiologik didapatkan kelainan somato sensorik evoked potensial (SSEP).
* Pemeriksaan computed tomogram ( CT ) scan dan magnetic resonance imaging (MRI) adalah normal.
Sejak tahun 1971, Olney telah melakukan penelitian pengaruh eksogen
monosodium glutamat terhadap jaringan otak hypothalamus pada bayi tikus,
bayi monyet, ditemukan proses pembengkakan (rapid swelling) dari sel
body neuronal dan dendrit diikuti dengan perubahan degeneratif jaringan
organel intraseluler dan khromatin nukleus.
Pada tahun 1978, OLNEY mempublikasikan hal tersebut sebagai excitotoxic Hypothesis/ Neurotoxicity of Exogenous Glutamate.
Schaumburg dkk 1969, mengobservasi pemakaian eksogen monosodium
glutamat pada pemakan “Chinese Food" yang mengeluh sakit kepala disebut
sebagai “CHINESE RESTAURANT SYNDROME", hal ini telah dibukukan dalam “
Wolff Headache“ tahun 2001.
Walaupun demikian, tahun 1970, Morselli
dkk melakukan double blind trial dengan mengunakan 3 gram monosodium
glutamat, tidak menemukan gejala klinis yang bermakna secara uji
statistik dibandingkan dengan placebo.
Plaitakis dkk 1982, meneliti
pasien-pasien gangguan metabolisme enzim hati (deficiency of hepatic
glutamate dehydrogenase) didapatkan peningkatan konsentrasi glutamat
plasma yang sangat berhubungan dengan (endogenous glutamate metabolism)
kematian sel saraf.
Rothman dkk 1987,dan CHOI dkk 1990,
mempublikasikan kerusakan jaringan otak kecil (serebellum ), batang otak
(brainstem), sumsum tulang belakang (spinal cord) yang menyerupai
seperti kerusakan pada penderita stroke (iskhemia) dan penderita seizure
(kejang) yang relevan dengan pengaruh eksogen dan endogen glutamat.
Fungsi otak kecil (serebellum) pada manusia adalah sebagai pusat
keseimbangan tubuh, pusat koordinasi gerak dan pusat menjaga tonus otot.
Dr. Andreas Harry Sp.S (K), Consultant Neurologist di Jakarta
Hanya lantaran tergila-gila pada rasa gurih dan lezat, bumbu sintetis
selalu digandrungi. Seruan para ahli kesehatan selama seperempat abad
ini seakan tidak pernah dipedulikan. Padahal, mereka tidak jemu
mengingatkan ancaman bahan penyedap itu bagi kesehatan. Menurut
penelitian terakhir dari para ahli farmakologi di Prancis, bumbu
penyedap dari monosodium glutamat (MSG) bahkan dapat merusak kelenjar
pankreas. Selanjutnya, kerusakan organ tubuh itu akan menggiring
penderita menjadi pengidap kencing manis atau diabetes mellitus.
Tim peneliti pada Pusat Farmakologi dan Endokrinologi itu bekerjasama
dengan tim dari Laboratorium Farmakologi dan Farmakodinamik Loubatieres
di Montpellier, Prancis.
Mereka menemukan bahwa glutamat melakukan
ikatan dengan reseptornya di dalam pankreas. Akibatnya, pankreas akan
memproduksi insulin lebih banyak dari biasanya. Dengan dipacunya
produksi insulin, otomatis perombakan kadar gula dalam darah mengalami
peningkatan. “Itulah yang membuat glutamat bisa sebagai salah satu
faktor penyebab diabetes,” kata Joel Bockaert, ketua tim penelitian
gabungan itu.
Dalam penelitian yang menggunakan beberapa tikus
(mencit) itu mereka mengisolasi organ pankreas binatang percobaan
tersebut ke dalam tabung pembiak. Pankreas itu kemudian dibubuhi larutan
glutamat yang diberikan secara invitro, atau di luar tubuh. Biakan
pankreas tadi disimpan di tabung inkubator.
Dari hasil
penelitian itu, ternyata pankreas yang mendapat perlakuan dengan
glutamat mengeluarkan insulin lebih banyak dibandingkan dengan biakan
pankreas yang tanpa glutamat. Inilah yang membuat kelenjar pankreas
makin lama mengalami kerusakan.
Dalam keadaan normal,
peningkatan insulin berkaitan erat dengan melonjaknya kadar gula dalam
darah. Gula yang berlebih itu, dengan bantuan insulin, akan dirombak
menjadi energi yang kemudian disimpan dalam jaringan tubuh seperti otot,
jaringan lemak, dan hati.
Peneliti tersebut menemukan bahwa
efek dari glutamat itu lebih nyata bila dibarengi tingginya kadar gula.
Namun, dalam kadar gula yang rendah pun, pengeluaran insulin masih terus
berlangsung jika kelebihan glutamat. Artinya, insulin yang dihasilkan
itu berasal dari gertakan glutamat tadi. Sandor Erdo, ahli reseptor sel
berkebangsaan Hungaria yang kini bermukim di Swedia, antara lain telah
menelaah reseptor glutamat pada pankreas, kelenjar adrenal, dan hati.
Menurut dia, tidak otomatis glutamat menimbulkan masalah kesehatan.
Untuk sampai menimbulkan gejala klinis, di samping dosisnya harus
tinggi, juga kondisi tubuh ikut berperan. Para peneliti yang
mengidentifikasi reseptor glutamat itu kini memperjelas temuan ahli
neurologi yang telah mencatat sekurangnya tiga subtipe reseptor glutamat
dalam susunan saraf pusat. Guna mengantarkan transmisi pesan ke dalam
otak, glutamat memang diperlukan. Hanya, dalam jumlah yang berlebihan,
bahan kimia itu akan berubah menjadi racun yang akan membunuh sel saraf.
Akibatnya, penderitanya sering pusing-pusing. Ini akibat adanya kematian sel saraf dan proses degeneratif.
Dalam kondisi biasa glutamat dibutuhkan karena bagian dari molekulnya,
yakni asam glutamat, adalah asam amino bahan pembentuk protein dalam
tubuh. Prof. Arne Schousboe, ahli peneliti di Sekolah Tinggi Farmasi di
Kopenhagen, Denmark, menyambut baik hasil temuan sejawatnya itu. “Temuan
itu menarik, karena pankreas tidak punya sistem penangkal seperti yang
terdapat pada otak. Karena, glutamat yang diduga berbahaya pada otak
selama ini bisa dihadang,” katanya.
Penelitian di Prancis itu,
menurut Prof. F.G. Winarno, baru absah bila telah mendapat persetujuan
dari JECFA (Joint Expert Committees on Food Additives), yaitu lembaga
yang dibentuk WHO dan FAO yang khusus menangani masalah keamanan bahan
makanan tambahan kimiawi. Tampaknya, hasil penelitian di Prancis itu
belum tiba ke meja JECFA. “Di dunia ini sudah ratusan penelitian
mengenai kontroversi MSG,” kata guru besar ilmu pangan dan gizi Institut
Pertanian Bogor (IPB) itu kepada Taufik Alwie.
Apa untung-rugi mengonsumsi MSG?
Menurut bekas Ketua Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pangan
IPB itu, selama dalam takaran normal menambahkan vetsin dalam masakan
tak akan merugikan kesehatan tubuh. “Malah akan membangkitkan cita rasa
masakan dan menambah selera makan,” ujar Winarno.
Sementara itu,
nikmatnya cita rasa makanan itu agaknya bisa membuat para konsumennya
melupakan takaran MSG yang dituangkan. Apalagi gejala klinis yang
ditimbulkan tidak dapat dideteksi.
Maka, tak mustahil kadar rendah
MSG yang dikonsumsi makin lama menumpuk dalam tubuh. “MSG akan mengancam
tubuh jika dituangkan dalam makanan dengan dosis tinggi. Tindakan itu
malah membuat masakan tidak lagi lezat,” kata Schousboe.
Mengenai MSG ini, Prof. Iwan Darmansyah masih belum sepakat kalau MSG
dikatakan aman. “Sebelum ada studi yang tuntas, saya tak setuju kalau
dikatakan MSG tidak punya efek samping,” kata farmakolog dari
Universitas Indonesia itu kepada Indrawan. Memang belum ada data secara
klinis korban pemakai bumbu masak itu. Ketika seseorang mengunyah
makanan, ia akan merasakan ada perbedaan antara makanan yang banyak
dituangi vetsin dan yang sedikit mengandung bumbu masak itu. “Dan apakah
ia bisa segera merasakan dampak MSG dalam tubuhnya?” tanya Iwan
Darmansyah. Ini yang tak segera terjawab.
fn/sc/tm/suaramedia.com
keyword: bahaya vetsin, vetsin, bahaya msg bagi tubuh, bahaya mengancam
lewat msg, bahaya bumbu penyedap bagi tubuh, bahaya bumbu penyedap,
efek samping vetsin, bahaya vitsin, dampak vetsin, bahaya msg bagi
kesehatan, efek vetsin, bahaya vetsin msg, bahaya micin, bahaya vetsin
bagi kesehatan, vetsin adalah, bahaya vetsin bagi tubuh, akibat vetsin,
bahan vetsin, bahaya bumbu penyedap bagi kesehatan, BAHAYA BUMBU MASAK,
bahaya petsin, micin, bahaya micin bagi kesehatan, akibat kebanyakan
micin, bahaya msg, bahaya vetcin, pengaruh vetsin terhadap kesehatan,
akibat makan vetsin, zat yang terkandung dalam micin, dampak vitsin
DAMPAK BAHAYA VETSIN, MEMATIKAN SYARAF Diketahui masyarakat ekonomi
menengah banyak mengkomsumsi glutamat eksogen berupa garam monosodium
glutamat (lebih dikenal dengan vetsin) sebagai penyedap makanan.
Sebagian dari mereka sering mengeluh sakit kepala (sefalgia) yang
dikenal dengan “CHINESE RESTAURANT SYNDROME". Mekanisme depolarisasi
membran neuronal (saraf) dibawah pengaruh glutamat sehingga terjadi
permeabilitas terhadap ion Na, ion Ca dan air, sehingga terjadi masuknya
ion Ca ke sel (peningkatan ion Ca intraseluler), merupakan fase awal
dan fase lanjut kematian sel. (The early and late phases of glutamate –
like Neurotoxity). Mekanisme dipolarisasi ini juga meningkatkan aktifasi
mekanisme homeostatik “ATP dependent“ yang menyebabkan energi cadangan
neuron berkurang sehingga tidak dapat mempertahankan keseimbangan ion
intraseluler dan ektraseluler, sehingga dapat menyebabkan awal kematian
sel. Glutamat banyak terdapat pada protein makanan nabati dan dalam
bentuk garam monosodium glutamat digunakan sebagai penyedap makanan
(enhancing flavour). Konsentrasi glutamat pada jaringan otak sebesar 10
mm, sebagian besar di “Synaptic Vesicles “. Glutamat endogen ataupun
berasal dari eksogen dalam konsentrasi besar merupakan neurotoxin untuk
sistim saraf pusat dan ini telah dibuktikan secara histologi oleh
Headley and Grillner 1990. Heathfield 1990, melaporkan pada penderita
“Sporadic Motor Neuron Diseases“ ditemukan toleransi abnormal glutamat
dan didapatkan peningkatan konsentrasi plasma glutamat dengan gejala: *
Kelumpuhan kedua lengan dan atau kedua tungkai * Gangguan berjalan /
sempoyongan * Gangguan miksi / urine * Kelainan cairan sumsum tulang
belakang ( liquor ) * Reflek fisiologis meningkat * Pemeriksaan
neurofisiologik didapatkan kelainan somato sensorik evoked potensial
(SSEP). * Pemeriksaan computed tomogram ( CT ) scan dan magnetic
resonance imaging (MRI) adalah normal. Sejak tahun 1971, Olney telah
melakukan penelitian pengaruh eksogen monosodium glutamat terhadap
jaringan otak hypothalamus pada bayi tikus, bayi monyet, ditemukan
proses pembengkakan (rapid swelling) dari sel body neuronal dan dendrit
diikuti dengan perubahan degeneratif jaringan organel intraseluler dan
khromatin nukleus. Pada tahun 1978, OLNEY mempublikasikan hal tersebut
sebagai excitotoxic Hypothesis/ Neurotoxicity of Exogenous Glutamate.
Schaumburg dkk 1969, mengobservasi pemakaian eksogen monosodium glutamat
pada pemakan “Chinese Food" yang mengeluh sakit kepala disebut sebagai
“CHINESE RESTAURANT SYNDROME", hal ini telah dibukukan dalam “ Wolff
Headache“ tahun 2001. Walaupun demikian, tahun 1970, Morselli dkk
melakukan double blind trial dengan mengunakan 3 gram monosodium
glutamat, tidak menemukan gejala klinis yang bermakna secara uji
statistik dibandingkan dengan placebo. Plaitakis dkk 1982, meneliti
pasien-pasien gangguan metabolisme enzim hati (deficiency of hepatic
glutamate dehydrogenase) didapatkan peningkatan konsentrasi glutamat
plasma yang sangat berhubungan dengan (endogenous glutamate metabolism)
kematian sel saraf. Rothman dkk 1987,dan CHOI dkk 1990, mempublikasikan
kerusakan jaringan otak kecil (serebellum ), batang otak (brainstem),
sumsum tulang belakang (spinal cord) yang menyerupai seperti kerusakan
pada penderita stroke (iskhemia) dan penderita seizure (kejang) yang
relevan dengan pengaruh eksogen dan endogen glutamat. Fungsi otak kecil
(serebellum) pada manusia adalah sebagai pusat keseimbangan tubuh, pusat
koordinasi gerak dan pusat menjaga tonus otot. Dr. Andreas Harry Sp.S
(K), Consultant Neurologist di Jakarta Hanya lantaran tergila-gila pada
rasa gurih dan lezat, bumbu sintetis selalu digandrungi. Seruan para
ahli kesehatan selama seperempat abad ini seakan tidak pernah
dipedulikan. Padahal, mereka tidak jemu mengingatkan ancaman bahan
penyedap itu bagi kesehatan. Menurut penelitian terakhir dari para ahli
farmakologi di Prancis, bumbu penyedap dari monosodium glutamat (MSG)
bahkan dapat merusak kelenjar pankreas. Selanjutnya, kerusakan organ
tubuh itu akan menggiring penderita menjadi pengidap kencing manis atau
diabetes mellitus. Tim peneliti pada Pusat Farmakologi dan Endokrinologi
itu bekerjasama dengan tim dari Laboratorium Farmakologi dan
Farmakodinamik Loubatieres di Montpellier, Prancis. Mereka menemukan
bahwa glutamat melakukan ikatan dengan reseptornya di dalam pankreas.
Akibatnya, pankreas akan memproduksi insulin lebih banyak dari biasanya.
Dengan dipacunya produksi insulin, otomatis perombakan kadar gula dalam
darah mengalami peningkatan. “Itulah yang membuat glutamat bisa sebagai
salah satu faktor penyebab diabetes,” kata Joel Bockaert, ketua tim
penelitian gabungan itu. Dalam penelitian yang menggunakan beberapa
tikus (mencit) itu mereka mengisolasi organ pankreas binatang percobaan
tersebut ke dalam tabung pembiak. Pankreas itu kemudian dibubuhi larutan
glutamat yang diberikan secara invitro, atau di luar tubuh. Biakan
pankreas tadi disimpan di tabung inkubator. Dari hasil penelitian itu,
ternyata pankreas yang mendapat perlakuan dengan glutamat mengeluarkan
insulin lebih banyak dibandingkan dengan biakan pankreas yang tanpa
glutamat. Inilah yang membuat kelenjar pankreas makin lama mengalami
kerusakan. Dalam keadaan normal, peningkatan insulin berkaitan erat
dengan melonjaknya kadar gula dalam darah. Gula yang berlebih itu,
dengan bantuan insulin, akan dirombak menjadi energi yang kemudian
disimpan dalam jaringan tubuh seperti otot, jaringan lemak, dan hati.
Peneliti tersebut menemukan bahwa efek dari glutamat itu lebih nyata
bila dibarengi tingginya kadar gula. Namun, dalam kadar gula yang rendah
pun, pengeluaran insulin masih terus berlangsung jika kelebihan
glutamat. Artinya, insulin yang dihasilkan itu berasal dari gertakan
glutamat tadi. Sandor Erdo, ahli reseptor sel berkebangsaan Hungaria
yang kini bermukim di Swedia, antara lain telah menelaah reseptor
glutamat pada pankreas, kelenjar adrenal, dan hati. Menurut dia, tidak
otomatis glutamat menimbulkan masalah kesehatan. Untuk sampai
menimbulkan gejala klinis, di samping dosisnya harus tinggi, juga
kondisi tubuh ikut berperan. Para peneliti yang mengidentifikasi
reseptor glutamat itu kini memperjelas temuan ahli neurologi yang telah
mencatat sekurangnya tiga subtipe reseptor glutamat dalam susunan saraf
pusat. Guna mengantarkan transmisi pesan ke dalam otak, glutamat memang
diperlukan. Hanya, dalam jumlah yang berlebihan, bahan kimia itu akan
berubah menjadi racun yang akan membunuh sel saraf. Akibatnya,
penderitanya sering pusing-pusing. Ini akibat adanya kematian sel saraf
dan proses degeneratif. Dalam kondisi biasa glutamat dibutuhkan karena
bagian dari molekulnya, yakni asam glutamat, adalah asam amino bahan
pembentuk protein dalam tubuh. Prof. Arne Schousboe, ahli peneliti di
Sekolah Tinggi Farmasi di Kopenhagen, Denmark, menyambut baik hasil
temuan sejawatnya itu. “Temuan itu menarik, karena pankreas tidak punya
sistem penangkal seperti yang terdapat pada otak. Karena, glutamat yang
diduga berbahaya pada otak selama ini bisa dihadang,” katanya.
Penelitian di Prancis itu, menurut Prof. F.G. Winarno, baru absah bila
telah mendapat persetujuan dari JECFA (Joint Expert Committees on Food
Additives), yaitu lembaga yang dibentuk WHO dan FAO yang khusus
menangani masalah keamanan bahan makanan tambahan kimiawi. Tampaknya,
hasil penelitian di Prancis itu belum tiba ke meja JECFA. “Di dunia ini
sudah ratusan penelitian mengenai kontroversi MSG,” kata guru besar ilmu
pangan dan gizi Institut Pertanian Bogor (IPB) itu kepada Taufik Alwie.
Apa untung-rugi mengonsumsi MSG? Menurut bekas Ketua Pusat Penelitian
dan Pengembangan Teknologi Pangan IPB itu, selama dalam takaran normal
menambahkan vetsin dalam masakan tak akan merugikan kesehatan tubuh.
“Malah akan membangkitkan cita rasa masakan dan menambah selera makan,”
ujar Winarno. Sementara itu, nikmatnya cita rasa makanan itu agaknya
bisa membuat para konsumennya melupakan takaran MSG yang dituangkan.
Apalagi gejala klinis yang ditimbulkan tidak dapat dideteksi. Maka, tak
mustahil kadar rendah MSG yang dikonsumsi makin lama menumpuk dalam
tubuh. “MSG akan mengancam tubuh jika dituangkan dalam makanan dengan
dosis tinggi. Tindakan itu malah membuat masakan tidak lagi lezat,” kata
Schousboe. Mengenai MSG ini, Prof. Iwan Darmansyah masih belum sepakat
kalau MSG dikatakan aman. “Sebelum ada studi yang tuntas, saya tak
setuju kalau dikatakan MSG tidak punya efek samping,” kata farmakolog
dari Universitas Indonesia itu kepada Indrawan. Memang belum ada data
secara klinis korban pemakai bumbu masak itu. Ketika seseorang mengunyah
makanan, ia akan merasakan ada perbedaan antara makanan yang banyak
dituangi vetsin dan yang sedikit mengandung bumbu masak itu. “Dan apakah
ia bisa segera merasakan dampak MSG dalam tubuhnya?” tanya Iwan
Darmansyah. Ini yang tak segera terjawab. fn/sc/tm/suaramedia.com
keyword: bahaya vetsin, vetsin, bahaya msg bagi tubuh, bahaya mengancam
lewat msg, bahaya bumbu penyedap bagi tubuh, bahaya bumbu penyedap, efek
samping vetsin, bahaya vitsin, dampak vetsin, bahaya msg bagi
kesehatan, efek vetsin, bahaya vetsin msg, bahaya micin, bahaya vetsin
bagi kesehatan, vetsin adalah, bahaya vetsin bagi tubuh, akibat vetsin,
bahan vetsin, bahaya bumbu penyedap bagi kesehatan, BAHAYA BUMBU MASAK,
bahaya petsin, micin, bahaya micin bagi kesehatan, akibat kebanyakan
micin, bahaya msg, bahaya vetcin, pengaruh vetsin terhadap kesehatan,
akibat makan vetsin, zat yang terkandung dalam micin, dampak vitsin
0 komentar:
Posting Komentar